Himpunan Mahasiswa Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Sekolah Tinggi Agama Islam Persatuan Islam Bandung

25 Juli 2007

SEJARAH PERKEMBANGAN RETORIKA

by : jaka 05.0217.15

Objek studi retorika setua kehidupan manusia. Kefasihan bicara mung­kin pertama kali dipertunjukkan dalam upacara adat: kelahiran, kema­tian, lamaran, perkawinan, dan sebagainya. Pidato disampaikan oleh orang yang mempunyai status tinggi. Dalam perkembangan peradaban pidato melingkupi bidang yang lebih luas. "Sejarah manusia", kata Lewis Copeland dalam kata pengantar bukunya tentang pidato tokoh-tokoh besar dalam sejarah, "terutama sekali adalah catatan peristiwa penting yang dramatis, yang seringkali disebabkan oleh pidato-pidato besar.

Sejak Yunani dan Roma sampai zaman kita sekarang, kepandaian pidato dan kenegarawanan selalu berkaitan. Banyak jago pedang juga ter­kenal dengan kefasihan bicaranya yang menawan".

Uraian sistematis retorika yang pertama diletakkan oleh orang Syracuse, sebuah koloni Yunani di Pulau Sicilia. Bertahun-tahun koloni itu diperintah para tiran. Tiran, di mana pun dan pada zaman apa pun, senang menggusur tanah rakyat. Kira-kira tahun 465 SM, rakyat melancarkan revolusi. Diktator ditumbangkan dan demokrasi ditegakkan. Pemerintah mengembalikan lagi tanah rakyat kepada pemiliknya yang sah.

Di sinilah kemusykilan terjadi. Untuk mengambil haknya, pemilik tanah harus sanggup meyakinkan dewan juri di pengadilan. Waktu itu, tidak ada pengacara dan tidak ada sertifikat tanah. Setiap orang harus meyakinkan mahkamah dengan pembicaraan saja. Sering orang tidak berhasil memperoleh kembali tanahnya, hanya karena ia tidak pandai bicara.

Untuk membantu orang memenangkan haknya di pengadilan, Corax menulis makalah retorika, yang diberi nama Techne Logon (Seni Kata-­kata). Walaupun makalah ini sudah tidak ada, dari para penulis se­zaman, kita mengetahui bahwa dalam makalah itu ia berbicara tentang "teknik kemungkinan". Bila kita tidak dapat memastikan sesuatu, mulailah dari kemungkinan umum. Seorang kaya mencuri dan dituntut di pengadilan untuk pertama kalinya. Dengan teknik kemungkinan, kita bertanya, "Mungkinkah seorang yang berkecukupan mengorbankan kehormatannya dengan mencuri? Bukankah, sepanjang hidupnya, ia tidak pernah diajukan ke pengadilan karena mencuri". Sekarang, seorang miskin mencuri dan diajukan ke pengadilan untuk kedua kalinya. Kita bertanya, "la pernah mencuri dan pernah dihukum. Mana mungkin ia berani melakukan lagi pekerjaan yang sama". Akhirnya, retorika me­mang mirip "ilmu silat lidah".

Di samping teknik kemungkinan, Corax meletakkan dasar-dasar organisasi pesan. Ia membagi pidato pada lima bagian: pembukaan, uraian, argumen, penjelasan tambahan, dan kesimpuln. Dari sini, para ahli retorika kelak mengembangkan organisasi pidato.

Walaupun demokrasi gaya Syracuse tidak bertahan lama, ajaran Corax tetap berpengaruh. Konon, Gelon, penguasa yang mengguling­kan demokrasi dan menegakkan kembali tirani, menderita halitosis (bau mulut). Karena ia tiran yang kejam, tak seorang pun berani mem­beritahukan hal itu kepadanya. Sampai di negeri yang asing, seorang perempuan asing berani menyebutkannya. Ia terkejut. Ia memarahi istrinya, yang bertahun-tahun begitu dekat dengannya, tetapi tidak memberitahukannya. Istrinya menjawab bahwa karena ia tidak pernah dekat dengan laki-laki lain, ia mengira semua laki-laki sama. Gelon tidak jadi menghukum istrinya. Tampaknya, sang istri sudah belajar retorika dari Corax.

Masih di Pulau Sicilia, tetapi di Agrigenturn, hidup Empedocles (490-430 SM), filosof, mistikus, politisi, dan sekaligus orator. Ia cerdas dan menguasai banyak pengetahuan. Sebagai filosof, ia pernah berguru kepada Pythagoras dan menulis The Nature of Things. Sebagai mistikus, ia percaya bahwa setiap orang bisa bersatu dengan Tuhan bila ia men­jauhi perbuatan yang tercela. Sebagai politisi, ia memimpin pemberon­takan untuk menggulingkan aristokrasi dan kekuasaan diktator. Se­bagai orator, menurut Aristoteles, "ia mengajarkan prinsip-prinsip retorika, yang kelak dijual Gorgias kepada penduduk Athena".

Tahun 427 SM Gorgias dikirim sebagai duta ke Athena. Negeri itu sedang tumbuh sebagai negara yang kaya. Kelas pedagang kosmopolitan selain memiliki waktu luang lebih banyak, juga terbuka pada gagasan-­gagasan baru. Di Dewan Perwakilan Rakyat, di pengadilan, orang memerlukan kemampuan berpikir yang jernih dan logis serta berbicara yang jelas dan persuasif. Gorgias memenuhi kebutuhan "pasar" ini dengan mendirikan sekolah retorika. Gorgias menekankan dimensi bahasa yang puitis dan teknik berbicara impromtu (kita bahas pada Bab II). Ia meminta bayaran yang mahal; sekitar sepuluh ribu drachma ($ 10.000) untuk seorang murid saja. Bersama Protagoras dan kawan­-kawan, Gorgias berpindah dari satu kota ke kota yang lain. Mereka adalah "dosen-dosen terbang".

Protagoras menyebut kelompoknya sophistai, "guru kebijaksanaan" Sejarahwan menyebut mereka kelompok Sophis. Mereka berjasa mengembangkan retorika dan mempopulerkannya. Retorika, bagi mereka bukan hanya ilmu pidato, tetapi meliputi pengetahuan sastra, gramatika, dan logika. Mereka tahu bahwa rasio tidak cukup untuk meyakinkan orang. Mereka mengajarkan teknik-teknik memanipulasi emosi dan menggunakan prasangka untuk menyentuh hati pendengar. Berkat kaum Sophis, abad keempat sebelum Masehi adalah abad retorika. Jago-jago pidato muncul di pesta Olimpiade, di gedung perwakilan dan pengadilan. Bila mereka bertanding, orang-orang Athena berdatangan dari tempat-tempat jauh; dan menikmati "adu pidato" seperti menikmati pertandingan tinju. Kita hanya akan menyebutkan dua tokoh saja sebagai contoh: Demosthenes dan Isocrates.

Berbeda dengan Gorgias, Demosthenes mengembangkan gaya bicara yang tidak berbunga-bunga, tetapi jelas dan keras. Dengan cerdik, ia menggabungkan narasi dan argumentasi. Ia juga amat memperhatikan cara penyampaian (delivery). Menurut Will Durant, "ia meletakkan rahasia pidato pada akting (hypocrisis). Berdasarkan keyakinan ini, ia berlatih pidato dengan sabar. Ia mengulang-ulangnya di depan cermin. Ia membuat gua, dan berbulan-bulan tinggal di sana, berlatih dengan diam-diam. Pada masa-masa ini, ia mencukur rambutnya sebelah, su­paya ia tidak berani keluar dari persembunyiannya. Di mimbar, ia melengkungkan tubuhnya, bergerak berputar, meletakkan tangan di atas dahinya seperti berpikir, dan seringkali mengeraskan suaranya seperti menjerit.

Demosthenes pernah diusulkan untuk diberi mahkota atas jasa-­jasanya kepada negara dan atas kenegarawanannya. Aeschines, orator lainnya, menentang pemberian mahkota dan memandangnya tidak konstitusional. Di depan Mahkamah yang terdiri dari ratusan anggota juri, ia melancarkan kecamannya kepada Demosthenes. Pada gilirannya, Demosthenes menyerang Aeschines dalam pidatonya yang terkenal Perihal Mahkota. Dewan juri memihak Demosthenes dan menuntut Aeschines untuk membayar denda. Aeschines lari ke Rhodes dan hidup dari kursus retorika yang tidak begitu laku. Konon, Demosthenes mengirimkan uang kepadanya untuk membebaskannya dari kemiskinan. Persaudaraan karena profesi!

Duel antara dua orator itu telah dikaji sepanjang sejarah. Inilah buah pendidikan yang dirintis oleh kaum Sophis. Tetapi ini juga yang membentuk citra negatif tentang kaum Sophis. Seorang tokoh yang berusaha mengembangkan retorika dengan menyingkirkan Sophisme negatif adalah Isocrates. Isocrates percaya bahwa retorika dapat meningkatkan kualitas masyarakat; bahwa retorika tidak boleh dipisahkan dari politik dan sastra. Tetapi ia menganggap tidak semua orang boleh diberi pelajaran ini. Retorika menjadi sebuah pelajaran elit, hanya untuk mereka yang berbakat.

Ia mendirikan sekolah retorika yang paling berhasil tahun 391 SM. Ia mendidik muridnya menggunakan kata-kata dalam susunan yang jernih tetapi tidak berlebih-lebihan, dalam rentetan anak kalimat yang seimbang dengan pergeseran suara dan gagasan yang lancar. Karena ia tidak mempunyai suara yang baik dan keberanian untuk tampil, ia hanya menuliskan pidatonya. Ia menulis risalah-risalah pendek dan menyebarkannya. Sampai sekarang risalah-risalah ini dianggap waris­an prosa Yunani yang menakjubkan. Gaya bahasa Isocrates telah mengilhami tokoh-tokoh retorika sepanjang zaman: Cicero, Milton, Massillon, Jeremy Taylor, dan Edmund Burke.

Salah satu risalah yang ditulisnya mengkritik kaum Sophis. Risalah ini ikut membantu berkembangnya kebencian kepada kaum Sophis. Di samping itu, kaum Sophis kebanyakan para pendatang asing di Athena. Orang selalu mencurigai yang dibawa orang asing. Apalagi mereka mengaku mengajarkan kebijaksanaan dengan menuntut bayaran. Yang tidak sanggup membayar tentu saja melepaskan kekecewaannya dengan mengecam mereka.

Socrates, misalnya, hanya sanggup membayar satu drachma untuk kursus yang diberikan Prodicus. Karena itu, ia hanya memperoleh dasar-dasar bahasa yang sangat rendah saja. Socrates mengkritik kaum Sophis sebagai para prostitut. Orang yang menjual kecantikan untuk memperoleh uang, kata Socrates, adalah prostitut. Begitu juga, orang yang menjual kebijaksanaan. Murid Socrates yang menerima pendapat gurunya tentang Sophisme adalah Plato.

Plato menjadikan Gorgias dan Socrates sebagai contoh retorika yang palsu dan retorika yang benar, atau retorika yang berdasarkan pada Sophisme dan retorika yang berdasarkan pada filsafat. Sophisme mengajarkan kebenaran yang relatif. Filsafat membawa orang kepada pengetahuan yang sejati. Ketika merumuskan retorika yang benar - yang membawa orang kepada hakikat - Plato membahas organisasi, gaya, dan penyampaian pesan. Dalam karyanya, Dialog, Plato meng­anjurkan para pembicara untuk mengenal "jiwa" pendengarnya. Dengan demikian, Plato meletakkan dasar-dasar retorika ilmiah dan psikologi khalayak. Ia telah mengubah retorika sebagai sekumpulan teknik (Sophisme) menjadi sebuah wacana ilmiah.

Aristoteles, murid Plato yang paling cerdas melanjutkan kajian re­torika ilmiah. Ia menulis tiga jilid buku yang berjudul De Arte Rhetorica.

Dari Aristoteles dan ahli retorika klasik, kita memperoleh lima ta­hap penyusunan pidato: terkenal sebagai Lima Hukum Retorika (The Five Canons of Rhetoric).

Inventio (penemuan). Pada tahap ini, pembicara menggali topik dan meneliti khalayak untuk mengetahui metode persuasi yang paling tepat. Bagi Aristoteles, retorika tidak lain daripada "kemampuan untuk menentukan, dalam kejadian tertentu dan situasi tertentu, metode persuasi yang ada". Dalam tahap ini juga, pembicara merumuskan tujuan dan mengumpulkan bahan (argumen) yang sesuai dengan kebutuhan khalayak.

Aristoteles menyebut tiga cara untuk mempengaruhi manusia. Pertama, Anda harus sanggup menunjukkan kepada khalayak bahwa Anda memiliki pengetahuan yang luas, kepribadian yang terpercaya, dan status yang terhormat (ethos). Kedua, Anda harus Menyentuh hati khalayak perasaan, emosi, harapan, kebencian dan kasih sayang mereka (pathos). Kelak, para ahli retorika modern menyebutnya imbauan emotional (emotional appeals). Ketiga, Anda Meyakinkan khalayak dengan mengajukan bukti atau yang kelihatan sebagai bukti. Di sini Anda mendekati khalayak lewat otaknya (logos).

Di samping ethos, pathos, dan logos, Aristoteles menyebutkan dua cara lagi yang efektif untuk mempengaruhi pendengar: entimem dan contoh. Entimem (Bahasa Yunani: "en" di dalam dan "thymos" pikiran) adalah sejenis silogisme yang tidak lengkap, tidak untuk menghasilkan pembuktian ilmiah, tetapi untuk menimbulkan keyakinan. Disebut tidak lengkap, karena sebagian premis dihilangkan.

Sebagaimana Anda ketahui, silogisme terdiri atas tiga premis: ma­yor, minor, dan kesimpulan. Semua manusia mempunyai perasaan iba kepada orang yang menderita (mayor). Anda manusia (minor). Tentu Anda pun mempunyai perasaan yang sama (kesimpulan). Ketika saya ingin mempengaruhi Anda untuk mengasihi orang-orang yang menderita, saya berkata, "Kasihanilah mereka. Sebagai manusia, Anda pasti mempunyai perasaan iba kepada orang yang menderita ". Ucapan yang ditulis miring menunjukkan silogisme, yang premis mayornya dihilangkan.

Di samping entimem, contoh adalah cara lainnya. Dengan menge­mukakan beberapa contoh, secara induktif Anda membuat kesimpulan umum. Sembilan dari sepuluh bintang film menggunakan sabun Lnx. Jadi, sabun Lux adalah sabun para bintang fihn.

Dispositio (penyusunan). Pada tahap ini, pembicara menyusun pidato atau mengorganisasikan pesan. Aristoteles menyebutnya taxis, yang berarti pembagian. Pesan harus dibagi ke dalam beberapa bagian yang berkaitan secara logis. Susunan berikut ini mengikuti kebiasaan berpikir manusia: pengantar, pernyataan, argumen, dan epilog. Menurut Aristoteles, pengantar berfungsi menarik perhatian, menumbuhkan kredibilitas (ethos), dan menjelaskan tujuan.

Elocutio (gaya). Pada tahap ini, pembicara memilih kata-kata dan menggunakan bahasa yang tepat untuk "mengemas" pesannya. Aristo­teles memberikan nasihat ini: gunakan bahasa yang tepat, benar, dan dapat diterima; pilih kata-kata yang jelas dan langsung; sampaikan kalimat yang indah, mulia, dan hidup; dan sesuaikan bahasa dengan pe­san, khalayak, dan pembicara.

Memoria (memori). Pada tahap ini, pembicara harus mengingat apa yang ingin disampaikannya, dengan mengatur bahan-bahan pem­bicaraannya. Aristoteles menyarankan "jembatan keledai" untuk me­mudahkan ingatan. Di antara semua peninggalan retorika klasik, me­mori adalah yang paling kurang mendapat perhatian para ahli retorika modern.

Pronuntiatio (penyampaian). Pada tahap ini, pembicara menyampai­kan pesannya secara lisan. Di sini, akting sangat berperan. Demos­thenes menyebutnya hypocrisis (boleh jadi dari sini muncul kata hipo­krit). Pembicara harus memperhatikan olah suara (vocis) dan gerakan­gerakan,anggota badan (gestus moderatio cum venustate).


RETORIKA ZAMAN ROMAWI


Teori retorika Aristoteles sangat sistematis dan komprehensif. Pada satu sisi, retorika telah memperoleh dasar teoretis yang kokoh. Namun, pada sisi lain, uraiannya yang lengkap dan persuasif telah membungkam para ahli retorika yang datang sesudahnya. Orang-orang Romawi selama dua ratus tahun setelah De Arte Rhetorica tidak menambahkan apa-apa yang berarti bagi perkembangan retorika.

Buku Ad Herrenium, yang ditulis dalam bahasa Latin kira-kira 100 SM, hanya mensistematisasikan dengan cara Romawi warisan retorika gaya Yunani. Orang-orang Romawi bahkan hanya mengambil segi-se­gi praktisnya saja. Walaupun begitu, kekaisaran Romawi bukan saja subur dengan sekolah-sekolah retorika; tetapi juga kaya dengan orator­-orator ulung: Antonius, Crassus, Rufus, Hortensius. Yang disebut terakhir terkenal begitu piawai dalam berpidato sehingga para artis berusaha mempelajari gerakan dan cara penyampaiannya.

Kemampuan Hortensius disempurnakan oleh Cicero. Karena di­besarkan dalam keluarga kaya dan menikah dengan istri yang mem­berinya kehormatan dan uang, Cicero muncul sebagai negarawan dan cendekiawan. Pernah hanya dalam dua tahun (45-44 SM), ia menulis banyak buku filsafat dan lima buah buku retorika. Dalam teori, ia tidak banyak menampilkan penemuan baru. Ia banyak mengambil gagasan dari Isocrates. Ia percaya bahwa efek pidato akan baik, bila yang ber­pidato adalah orang baik juga. The good man speaks well. Dalam praktek, Cicero betul-betul orator yang sangat berpengaruh.

Caesar, penguasa Romawi yang ditakuti, memuji Cicero, "Anda telah menemukan semua khazanah retorika, dan Andalah orang per­tama yang menggunakan semuanya. Anda telah memperoleh keme­nangan yang lebih disukai dari kemenangan para jenderal. Karena se­sungguhnya lebih agung memperluas batas-batas kecerdasan manusia daripada memperluas batas-batas kerajaan Romawi".

Kira-kira 57 buah pidatonya sampai kepada kita sekarang ini. Will Durant menyimpulkan kepada kita gaya pidatonya:

Pidatonya mempunyai kelebihan dalam menyajikan secara bergelora satu sisi masalah atau karakter; dalam menghibur khalayak dengan humor dan anekdot; dalam menyentuh kebanggaan, prasangka, perasaan, patriotisme dan kesalehan; dalam mengungkapkan secara keras kelemahan lawan - yang sebenarnya atau yang diberitakan, yang tersembunyi atau yang terbuka; dalam mengalihkan perhatian secara terampil dari pokok-pokok pembicaraan yang kurang menguntungkan; dalam memberondong pertanyaan retoris yang sulit dijawab; dalam menghimpun serangan-serangan, dengan kalimat-kalimat periodik yang anak-anaknya seperti cambukan dan yang badainya membahana....


Dari tulisan-tulisannya yang sampai sekarang bisa dibaca, kita mengetahui bahwa Cicero sangat terampil dalam menyederhanakan pembicaraan yang sulit. Bahasa Latinnya mudah dibaca. Melalui pena­nya, bahasa mengalir dengan deras tetapi indah.

Puluhan tahun sepeninggal Cicero, Quintillianus mendirikan se­kolah retorika. Ia sangat mengagumi Cicero dan berusaha merumuskan teori-teori retorika dari pidato dan tulisannya. Apa yang dapat kita pelajari dari Quintillianus? Banyak. Secara singkat, Will Durant menceritakan kuliah retorika Quantillianus, yang dituliskannya dalam buku Institutio Oratoria:

Ia mendefinisikan retorika sebagai ilmu berbicara yang baik. Pendidikan orator harus dimulai sebelum dia lahir: Ia sebaiknya berasal dari keluarga terdidik, sehingga ia bisa menerima ajaran yang benar dan akhlak yang baik sejak napas yang ia hirup pertama kalinya. Tidak mungkin menjadi terpelajar dan terhormat hanya dalam satu generasi. Calon orator harus mempelajari musik supaya ia mempunyai telinga yang dapat mendengarkan harmoni; tarian, supaya ia memiliki keanggunan dan ritma; drama, untuk menghidupkan kefasihannya dengan gerakan dan tindakan; gimnastik, untuk memberinya kesehatan dan kekuatan; sastra, untuk membenhik gaya dan melatih memorinya, dan memperlengkapinya dengan pemikiran­-pemikiran besar; sains, untuk memperkenalkan dia dengan pemahaman mengenai alam; dan filsafat, untuk membentuk karakternya berdasarkan petunjuk akal dan bimbingan orang bijak. Karena semua persiapan tidak ada manfaatnya jika integritas akhlak dan kemuliaan rohani tidak melahirkan ketulusan bicara yang tak dapat ditolak. Kemudian, pelajar retorika harus menulis sebanyak dan secermat mungkin.

Sebuah saran yang berlebihan. Tetapi kita diingatkan lagi pada Cicero. The good man speaks well.


RETORIKA ABAD PERTENGAHAN


Sejak zaman Yunani sampai zaman Romawi, retorika selalu berkaitan dengan kenegarawanan. Para orator umumnya terlibat dalam kegiatan politik. Ada dua cara untuk memperoleh kemenangan politik: talk it out ('membicarakan sampai tuntas) atau shoot it out (menembak sampai ha­bis). Retorika subur pada cara pertama, cara demokrasi. Ketika demokrasi Romawi mengalami kemunduran, dan kaisar demi kaisar memegang pemerintahan, "membicarakan" diganti dengan "menembak". Retorika tersingkir ke belakang panggung. Para kaisar tidak senang mendengar orang yang pandai berbicara.

Abad pertengahan sering disebut abad kegelapan, juga buat retorika. Ketika agama Kristen berkuasa, retorika dianggap sebagai kesenian jahiliah. Banyak orang Kristen waktu itu melarang mempelajari retorika yang dirumuskan oleh orang-orang Yunani dan Romawi, para penyembah berhala. Bila orang memeluk agama Kristen, secara otomatis ia akan memiliki kemampuan untuk nmnyampaikan kebenaran. St. Agustinus, yang telah mempelajari retorika sebelum masuk Kristen tahun 386, adalah kekecualian pada zaman itu.

Dalam On Christian Doctrine (426), ia menjelaskan bahwa para pengkhotbah harus sanggup mengajar, menggembirakan, dan meng­gerakkan - yang oleh Cicero disebut sebagai kewajiban orator. Untuk mencapai tujuan Kristen, yakni mengungkapkan kebenaran, kita harus mempelajari teknik penyampaian pesan.

Satu abad kemudian, di Timur muncul peradaban baru. Seorang Nabi menyampaikan firman Tuhan, "Berilah mereka nasihat dan berbicaralah kepada mereka dengan pembicaraan yang menyentuh jiwa mereka" (Alquran 4:63). Muhammad saw. bersabda, memperteguh firman Tuhan ini, "Sesungguhnya dalam kemampuan berbicara yang baik itu ada sihirnya".

Ia sendiri seorang pembicara yang fasih - dengan kata-kata singkat yang mengandung makna padat. Para sahabatnya bercerita bahwa ucapannya sering menyebabkan pendengar berguncang hatinya dan berlinang air matanya. Tetapi ia tidak hanya menyentuh hati, ia juga mengimbau akal para pendengarnya. Ia sangat memperhatikan orang­-orang yang dihadapinya, dan menyesuaikan pesannya dengan keadaan mereka. Ada ulama yang mengumpulkan khusus pidatonya dan me­namainya Madinat al-Balaghah (Kota Balaghah). Salah seorang sahabat yang paling dikasihinya, Ali bin Abi Thalib, mewarisi ilmunya dalam berbicara. Seperti dilukiskan Thomas Carlyle, "every antagonist in the combats of tongue or of sword was subdited by his eloquence and valor". Pada Ali bin Abi Thalib, kefasihan dan kenegarawanan bergabung kembali. Khotbah-khotbahnya dikumpulkan dengan cermat oleh para peng­ikutnya dan diberi judul Nahj al-Balaghah (Jalan Balaghah).

Balaghah menjadi disiplin ilmu yang menduduki status yang mulia dalam peradaban Islam. Kaum Muslim menggunakan balaghah sebagai pengganti retorika. Tetapi, warisan retorika Yunani, yang dicampakkan di Eropa Abad Pertengahan, dikaji dengan tekun oleh para ahli ba­laghah. Sayang, sangat kurang sekali studi berkenaan dengan kontribusi Balaghah pada retorika modern. Balaghah, beserta ma'ani dan bayan, masih tersembunyi di pesantren-pesantren dan lembaga-lembaga pen­didikan Islam tradisional.


RETORIKA MODERN


Abad Pertengahan berlangsung selama seribu tahun (400-1400). Di Eropa, selama periode panjang itu, warisan peradaban Yunani diabai­kan. Pertemuan orang Eropa dengan Islam - yang menyimpan dan mengembangkan khazanah Yunani - dalam Perang Salib menimbulkan Renaissance. Salah seorang pemikir Renaissance yang menarik kembali minat orang pada retorika adalah Peter Ramus. Ia membagi retorika pada dua bagian. Inventio dan dispositio dimasukkannya sebagai bagian logika. Sedangkan retorika hanyalah berkenaan dengan elocutio dan pronuntiatio saja. Taksonomi Ramus berlangsung selama beberapa generasi.

Renaissance mengantarkan kita kepada retorika modern. Yang membangun jembatan, menghubungkan Renaissance dengan retorika modern adalah Roger Bacon (1214-1219). Ia bukan saja memperkenalkan metode eksperimental, tetapi juga pentingnya pengetahuan tentang proses psikologis dalam studi retorika. Ia menyatakan, "... kewajiban retorika ialah menggunakan rasio dan imajinasi untuk menggerakkan kemauan secara lebih baik". Rasio, imajinasi, kemauan adalah fakultas-­fakultas psikologis yang kelak menjadi kajian utama ahli retorika modern.

Aliran pertama retorika dalam masa modern, yang menekankan proses psikologis, dikenal sebagai aliran epistemologis. Epistemologi membahas "teori pengetahuan"; asal-usul, sifat, metode, dan batas-batas pengetahuan manusia. Para pemikir epistemologis berusaha mengkaji retorika klasik dalam sorotan perkembangan psikologi kognitif (yakni, yang membahas proses mental).

George Campbell (1719-1796), dalam bukunya The Philosophy of Rhetoric, menelaah tulisan Aristoteles, Cicero, dan Quintillianus dengan pendekatan psikologi fakultas (bukan fakultas psikologi). Psikologi fakultas berusaha menjelaskan sebab-musabab perilaku manusia pada empat fakultas - atau kemampuan jiwa manusia: pemahaman, memori, imajinasi, perasaan, dan kemauan. Retorika, menurut definisi Campbell, haruslah diarahkan kepada upaya "mencerahkan pemahaman, menyenangkan imajinasi, menggerakkan perasaan, dan mempengaruhi kemauan".

Richard Whately mengembangkan retorika yang dirintis Campbell. Ia mendasarkan teori retorikanya juga pada psikologi fakultas. Hanya saja ia menekankan argumentasi sebagai fokus retorika. Retorika harus mengajarkan bagaimana mencari argumentasi yang tepat dan meng­organisasikannya secara baik. Baik Whately maupun Campbell me­nekankan pentingnya menelaah proses berpikir khalayak. Karena itu, retorika yang berorientasi pada khalayak (audience-centered) berutang budi pada kaum epistemologis - aliran pertama retorika modern.

Aliran retorika modern kedua dikenal sebagai gerakan belles lettres (Bahasa Prancis: tulisan yang indah). Retorika belletris sangat meng­utamakan keindahan bahasa, segi-segi estetis pesan, kadang-kadang dengan mengabaikan segi informatifnya. Hugh Blair (1718-1800) me­nulis Lectures on Rhetoric and Belles Lettres. Di sini ia menjelaskan hu­bungan antara retorika, sastra, dan kritik. Ia memperkenalkan fakultas citarasa (taste), yaitu kemampuan untuk memperoleh kenikmatan dari pertemuan dengan apa pun yang indah. Karena memiliki fakultas cita­rasa, Anda senang mendengarkan musik yang indah, membaca tulisan yang indah, melihat pemandangan yang indah, atau mencamkan pidato yang indah. Citarasa, kata Blair, mencapai kesempurnaan ketika kenikmatan inderawi dipadukan dengan rasio - ketika rasio dapat menjelaskan sumber-sumber kenikmatan.

Aliran pertama (epistemologi) dan kedua (belles lettres) terutama memusatkan perhatian mereka pada persiapan pidato - pada penyu­sunan pesan dan penggunaan bahasa. Aliran ketiga - disebut gerakan elokusionis - justru menekankan teknik penyampaian pidato. Gilbert Austin, misalnya memberikan petunjuk praktis penyampaian pidato, "Pembicara tidak boleh melihat melantur. Ia harus mengarahkan mata­nya langsung kepada pendengar, dan menjaga ketenangannya. Ia tidak boleh segera melepaskan seluruh suaranya, tetapi mulailah dengan nada yang paling rendah, dan mengeluarkan suaranya sedikit saja; jika ia ingin mendiamkan gumaman orang dan mencengkeram perhatian mereka". James Burgh, misal yang lain, menjelaskan 71 emosi dan cara mengungkapkannya.

Dalam perkembangan, gerakan elokusionis dikritik karena per­hatian - dan kesetiaan - yang berlebihan pada teknik. Ketika mengikuti kaum elokusionis, pembicara tidak lagi berbicara dan bergerak secara spontan. Gerakannya menjadi artifisial. Walaupun begitu, kaum elokusionis telah berjaya dalam melakukan penelitian empiris sebelum merumuskan "resep-resep" penyampaian pidato. Retorika kini tidak lagi ilmu berdasarkan semata-mata "otak-atik otak" atau hasil perenungan rasional saja. Retorika, seperti disiplin yang lain, dirumuskan dari hasil penelitian empiris.

Pada abad kedua puluh, retorika mengambil manfaat dari perkem­bangan ilmu pengetahuan modern - khususnya ilmu-ilmu perilaku seperti psikologi dan sosiologi. Istilah retorika pun mulai digeser oleh speech, speech communication, atau oral communication, atau public speak­ing. Di bawah ini diperkenalkan sebagian dari tokoh-tokoh retorika mutakhir:


1. James A Winans

Ia adalah perintis penggunaan psikologi modern dalam pidatonya. Bukunya, Public Speaking, terbit tahun 1917 mempergunakan teori psikologi dari William James dan E.B. Tichener. Sesuai dengan teori James bahwa tindakan ditentukan oleh perhatian, Winans, men­definisikan persuasi sebagai "proses menumbuhkan perhatian yang memadai baik dan tidak terbagi terhadap proposisi-propo­sisi". Ia menerangkan pentingnya membangkitkan emosi melalui motif-motif psikologis seperti kepentingan pribadi, kewajiban sosial dan kewajiban agama. Cara berpidato yang bersifat percakapan (conversation) dan teknik-teknik penyampaian pidato merupakan pembahasan yang amat berharga. Winans adalah pendiri Speech Communication Association of America (1950).


2. Charles Henry Woolbert

Ia pun termasuk pendiri the Speech Communication Association of America. Kali ini psikologi yang amat mempengaruhinya adalah behaviorisme dari John B. Watson. Tidak heran kalau Woolbert memandang "Speech Communication" sebagai ilmu tingkah laku. Baginya, proses penyusunan pidato adalah kegiatan seluruh orga­nisme. Pidato merupakan ungkapan kepribadian. Logika adalah da­sar utama persuasi. Dalam penyusunan persiapan pidato, menurut Woolbert harus diperhatikan hal-hal berikut: (1) teliti tujuannya, (2) ketahui khalayak dan situasinya, (3) tentukan proposisi yang cocok dengan khalayak dan situasi tersebut, (4) pilih kalimat-ka­limat yang dipertalikan secara logis. Bukunya yang terkenal adalah The Fundamental of Speech.


3. William Noorwood Brigance

Berbeda dengan Woolbert yang menitikberatkan logika, Brigance menekankan faktor keinginan (desire) sebagai dasar persuasi. "Keyakinan", ujar Brigance, "jarang merupakan hasil pemikiran. Ki­ta cenderung mempercayai apa yang membangkitkan keinginan kita, ketakutan kita dan emosi kita". Persuasi meliputi empat unsur: (1) rebut perhatian pendengar, (2) usahakan pendengar untuk mempercayai kemampuan dan karakter Anda, (3) dasarkanlah pemikiran pada keinginan, dan (4) kembangkan setiap gagasan sesuai dengan sikap pendengar.


4. Alan H. Monroe

Bukunya, Principles and Types of Speech, banyak kita pergunakan dalam buku ini. Dimulai pada pertengahan tahun 20-an Monroe beserta stafnya meneliti proses motivasi (motivating process). Jasa, Monroe yang terbesar adalah cara organisasi pesan. Menurut Monroe, pesan harus disusun berdasarkan proses berpikir manusia yang disebutnya motivated sequence.


Beberapa sarjana retorika modern lainnya yang patut kita sebut antara lain A.E. Philips (Effective Speaking, 1908), Brembeck dan Howell (Per­suasion: A Means of Social Control, 1952), R.T. Oliver (Psychology of Per­suasive Speech, 1942). Di Jerman, selain tokoh "notorious" Hitler, dengan bukunya Mein Kampf, maka Naumann (Die Kunst der Rede, 1941), Dessoir (Die Rede als Kunst, 1984) dan Damachke (Volkstumliche Redekunst, 1918) adalah pelopor retorika modern juga.

Dewasa ini retorika sebagai public speaking, oral communication, atau speech communication -diajarkan dan diteliti secara ilmiah di lingkungan akademis. Pada waktu mendatang, ilmu ini tampaknya akan diberikan juga pada mahasiswa-mahasiswa di luar ilmu sosial. Dr. Charles Hurst mengadakan penelitian tentang pengaruh speech courses terhadap pres­tasi akademis mahasiswa. Hasilnya membuktikan bahwa pengaruh itu cukup berarti. Mahasiswa yang memperoleh pelajaran speech (speech group) mendapat skor yang lebih tinggi dalam tes belajar dan berpikir, lebih terampil dalam studi dan lebih baik dalam hasil akademisnya dibanding dengan mahasiswa yang tidak memperoleh ajaran itu.

Hurst menyimpulkan:

Data penelitian ini menunjukkan dengan jelas bahwa kuliah speech tingkat dasar adalah agen synthesa, yang memberikan dasar skematis bagi mahasiswa untuk berpikir lebih teratur dan memperoleh penguasaan yang lebih baik terhadap aneka fenomena yang membentuk kepribadian.

Penelitian ini menjadi penting bagi kita, bukan karena dilengkapi dengan data statistik yang meyakinkan atau karena berhasil memberikan gelar doktor bagi Hurst, tetapi karena erat kaitannya dengan prospek retorika di masa depan.



Rujukan Penuh : Rakhmat, Jalaluddin. 2006. Retorika Modern Pendekatan Praktis. Bandung: Penerbit PT. Remaja Rosda Karya

“Kewajiban Menutup Aurat Bagi Wanita”


Oleh: Dhanyawan Haflah1


Ahad, 14 Shafar 1428 H bertepatan dengan 4 april 2007, Diadakan diskusi sederhana yang diselenggarakan oleh Ikatan Pemuda dan Remaja Masjid (IPRM) Sukamanah menghadirkan Saudari Neni H (Anggota Aliansi Perempuan Pembebasan) dan Sodari Nita (Alumnus PPI 3 Pamengpeuk).

Pada kesempatan itu, Saudari Neni menghadirkan sebuah makalah “Kewajiban Menutup Aurat Bagi Wanita”. Walaupun makalah itu dihadirkan oleh salah seorang anggota Aliansi tersebut, saya husnudzon, penulis pasti meminta pertimbangan pada rekannya yang lain sesama anggota Aliansi. Penulis makalah tersebut yang saya kenal, saya tahu keilmuannya dan semangatnya dalam mencari ilmu saat-saat ini. Makanya tulisan ini tidak saya tujukan kepada sang penulis, tetapi kepada seluruh anggota Aliansi yang lainnya yang pasti tidak akan membiarkan saudari saya menyususn makalah itu seorang diri.

Ini hanyalah catatan kecil, catatan yang didasari keheranan atas makalah yang saya baca

Beberapa Catatan

  1. Didalam pengutipan Q.s. an-Nuur [24]: 31, diterangkan bahwa

Ayat ini tampak jelas, bahwa wanita muslimah wajib untuk menghamparkan kerudung hingga kepala, leher, dan juyub (bukaan baju) mereka”. Sejak kapan juyub diartikan dengan bukan baju?

  1. Beralih ke halaman ke dua, disana tertulis:

Sementara itu, yang di maksud dengan jilbab itu sendiri bisa bermakna milhafah (baju kurung yang longgar dan tidak tipis), kain (kisa`) apa saja yang dapat menutupi atau pakaian (Tsawb) yang dapat menutupi seluruh tubuh. Di dalam kamus al-muhith dinyatakan demikian.”.

Memang tidak jelas kamus al-Muhith halaman berapa, tetapi setelah saya lakukan pengecekan di dalam kamus tersebut terdapat ungkapan;2


Dan setelah kata Milhafah [Milhafah itu jika saya tidak salah mempunyai kata dasar lahafa bias juga alfaha (Fiil Madhi ta`diyyah) yang artinya menutupinya dengan selimut, (kamus al munawir, 2002: 1259)] sebenarnya masih ada kalimat lanjutan, yaitu:



“Atau apa-apa yang menutupi dengannya pakaiannya dari atas seperti Milhafah3, atau kerudung”.

Saya jadi bertanya apakah lupa atau sengaja lanjutannya tidak di kutif?, padahal hal itu sama pentingnya.

  1. Kemudian, pengutifan dari para ulama tentang pengertian jilbab, ada beberapa catatan:

a.) Pengertian pertama penulis mengutif dari Tafsir Ibn Abbas: 137. saya belum tahu kitabnya cetakan mana dan tahun berapa, tetapi yang pasti isi insya allah sama. Setelah di cek, pendapat tersebut ada dalam halaman 264 untuk cetakan Haramain dan 426 untuk cetakan lain, dan hanya terdapat ungkapan

Yang berbeda pengertiannya dengan yang ditulis oleh penulis makalah bahwa;

Kain penutup atau baju luar/mantel yang menutupi seluruh tubuh wanita”

padahal mengaku mengutif dari Tafsir ibnu Abbas. Saya jadi bertanya, memangnya yang jadi rujukan itu kitab Tafsir Ibnu Abbas yang mana, apakah sama Tanwiirul Miqbas min Tafsiiri Ibnu Abbas ?


b.) Pertanyaan serupa juga tertuju pada pengertian yang kedua, saya cek kitab Jalalain yang ternyata ada pada halaman 453 bukan 307. (Cetakan boleh beda tetapi isi insya Allah, sama) memang terdapat ungkapan:


yang artinya “Baju panjang (mula`ah) yang meliputi seluruh tubuh wanita.”

Tetapi dalam kitab Jalalain (Dua Imam yang bernama Jalal).yang saya baca tidak tertulis bahwa itu adalah ucapan Imam Nawawi. Begitu juga dalam Jalalain bi Hasyiati ash-Showiy4. Wallahu a`lamu. Dan sebenarnya masih ada lanjutannya Pendapat tersebut yaitu:

“Mengendorkan sebagiannya atas wajah….”

c.) Untuk pengertian yang poin ketiga yang ditulis dalam makalah, Dalam Tafsir Shafwah at-Tafsir karangan Muhammad Ali al-Shobuni, memang terdapat ungkapan:

yang artinya “Jilbab (baju) luas yang menutupi seluruh kecantikan dan perhiasan wanita” yang penulis kutif untuk makalahnya. Tetapi mengapa meninggalkan tulisan lanjutan dari kitab tersebut yang menuliskan bahwa:

“…Supaya menutup wajah-wajahnya dari atas kepalanya dengan jilbab…”.

Apakah kebetulan, jika kesalahan tersebut terjadi berulang ulang. Hanya mengambil kutifan sebagian saja, dan meninggal kan potongan kutipan lanjutannya?

d.) Pertanyaan untuk pengertian poin ke empat yang “katanya” dikutif dari Tafsir Ibnu Katsir. Yaitu:

Pakaian seperti terowongan (baju panjang yang lurus sampai ke bawah) selain kerudung.”

Penulis makalah hanya menuliskan bahwa pendapat itu diambil dari Tafsir Ibnu Katsir tanpa menyertakan jilid dan halaman. Setelah saya berusaha mencari dan mengecek, ternyata naskah asli dari Kitab tersebut ketika menafsirkan al-ahjab: 595, hanya terdapat ungkapan:

“Jilbab adalah kain (pakaian) di atas Khimar (Kurudung). Yang berkata seperti itu adalah Ibnu Mas`ud Ubaidah, Hasan al-Bashry, Sa`id bin Jubaer, Ibrahim al-Nakho`I, Atha` al-Khurasani dan yang lainnya.

Sekali lagi saya yang bodoh ini bertanya, Kitab Ibnu Katsir mana yang digunakan sehingga berbeda dengan yang asli?

Dan sekaligus pertanyaan untuk poin pengertian ke enam dimana penulis makalah menyatakan bahwa:

Ibnu Mas`ud meriwayatkan, “Bahwa jilbab adalah Rada`u yaitu terowongan (pakaian yang lurus tanpa potongan yang menutupi seluruh badan)”. Tafsir al-Qurtubi.

Ibnu mas`ud mana yang dimaksud? jelas bahwa pengertian dari ibnu mas`ud adalah seperti yang ditulis di Atas. Walaupun diambil dari Kitab Ibnu Katsier, bukankah Ibnu Mas`ud yang dikenal adalah itu-itu juga. Dari mana juga Rada`u diartikan dengan Terowongan?

e.) Dan yang paling menggelikan, poin lima.

“….Dan juga juyub mereka untuk menutup dada-dada mereka”

Emangnya juyub artinya apa. Kok… dada dipakai untuk menutup dada?

f.) Kemudian pada poin persyaratan nomor lima, syarat pakaian wanita muslimah adalah Menutupi tsiyab (pakaian Rumah, semacam daster). Bukan kah di awal halaman kedua makalah diterangkan bahwa jilbab adalah pakaian (tsawb) yang dapat menutupi seluruh tubuh. Mengapa di poin lima tsiab diartikan pakaian rumah, semacam daster. Bukan kah Tsiab itu jamak dari kata tsawb, mengapa tsawb digunakan untuk menutupi tsiab.

Beberapa Pengertian yang saya Temukan (menguatkan kalimat pengertian yang dihilangkan):

1. Al-Maraghi, jilid 18: 133

“Jilbab, yang berada di atas khimar

2. Ibnu Katsier jilid 3:518

“Rada`6, diatas khimar

yang menyatakan bahwa itu adalah ungkapan Ibnu Mas`ud, Ubaidah, Hasan al-Bashry, Sa`id bin Jubaer, Ibrahim al-Nakho`I, Atha` al-Khurasani dan yang lainnya.

3. Lisaanul Arab.(1994) Juz 1:272

“Baju yang lebih luas dari khimar, bukan Rada`, perempuan menutupi dengannya kepala dan dadanya.” Dan masih banyak arti lain dalam Kitab tersebut..

4.Mu`jam al-Wasith: 128

“ Jilbab: gamis, baju yang meliputi seluruh jasad, khimar, dan apa-apa yang dipakai diatas Baju seperti milhafah 7

Dampak (di)hilang(kan)nya beberapa kaliamat asli dari sumber rujukan, mempengaruhi kesimpulan itu sendiri yang diberikan dalam makalah, yaitu;

Jilbab adalah pakaian luar (Menyerupai mantel) yang luas dan tidak terputus (Seperti terowongan) yang menutupi pakaian rumah/pakaian sehari-harinya (al-Mihnah) dan seluruh bagian tubuhnya kecuali muka dan kedua talapak tangan.”

Kesimpulannya tidak menyebutkan bahwa jilbab posisinya berada diatas khimar dan menutupi seluruh tubuhnya dari atas kepala karena memang dalam pengertian awal kalimat itu ada yang dihilangkan dari aslinya. Hanya menyebutkan menutupi pakaian rumah, yang sebenarnya tidak terdapat pada pengertian yang diberikan sebelum dikoreksi yang hanya menyebut menutupi seluruh tuibuh saja. Dan banyak kesimpulan yang tidak sesuai dengan pengutipan.

Dan memperhatikan praktek yang dilakukan oleh perempuan aliansi tersebut, mereka menyebut bahwa jilbab itu adalah seperti itu, dengan baju yang sekali ulur tanpa potongan. Plus kerudung Bersesuaian dengan pengertian ketiaga yang katanya dikutif dari Ibnu Katsir yang belum sempat dibuktikan kebenarannya.

Kalau memang benar yang dimaksud oleh Aliansi Perempuan Pembebasan konsisten mengartikan Q.s. al-Ahzab: 59 adalah mode pakaian wanita (Ini lho Muslimah [jilbab]), seharusnya, prakteknya adalah jilbab wanita bukan bertitik tekan pada baju yang harus sekali ulur, seperti yang aliansi contohkan dan menggunakan poin persyaratan yang kedua yaitu: Menutup tubuh saja, tidak dari atas kepala (mala`ah), sedangkan penutup kepala menggunakan kerudung, sehingga tidak tampak aurat.

Tetapi jika sudah membaca pengertian jilbab, haruslah menutupi Khimar (kerudung) dan pakaian. Artinya juga, bukan hanya dua potong, tetapi malah tiga potong, yang urutannya: Baju, kerudung yang menutup dada (Q.s. an-Nuur: 31) kemudian ditutup lagi oleh Jilbab dari atas (kepala) sampai bawah.

(Kecuali memang ada makna lain yang terkandung dalam ayat tersebut?!!!).

Tetapi sayang…pengertian bahwa jilbab posisinya diatas khimar terlanjur bersembunyi (atau: Disembunyikan), lihat saja…kata-kata yang hilang dari pendapat Muhammad Ali al-Shobuni dan Ibnu Mas`ud serta dari kamus al-Muhith dan Jalalain adalah keterangan bahwa jilbab itu diatas Kerudung (khimar) atau ditutupkan dari atas (Ditambah keterangan lain yang saya tambahkan). Penulis malah menekankan kata terowongan yang tidak jelas. Saya tidak mengtakan bahwa pendapat yang hilang itu sengaja dihilangkan untuk menguatkan pendapat saja.

Sudahlah ini hanya catatan kecil (catatan kecil kok banyak he..), sebelum membicarakan masalah pakaian wanita (jilbab), saya bahas dulu makalah yang diberikan. Belum kemana-mana, kok..!

Untuk akhirnya, kita coba bersama-sama berdiskusi dengan baik. Saya tidak mau, Perempuan anggota Remaja Mesjid yang saya pimpin, berdiskusi tanpa tahu landasan awal apa yang hendak didiskusikan. Atua dibodohi, karena dalam masa-masanya mencari ilmu tanpa diajari tentang landasan ilmu yang didapatinya. Seperti dengan pengutifan yang belum dicek kebenarannya seperti ini (Mudah-mudahan kekhawatiran saya tidak benar). Kita coba berpikir terbuka, tentang ilmu. Jangan sampai kita menerima begitu saja pemahaman yang datang, tanpa tahu kepastiannya. Sehingga menyeret Saudara-saudara saya pada pintu taqlid, mengharuskan untuk tetap berpegang pada pendapatnya tanpa tahu alasan dalilnya, atau tetap bertahan pada pendapat yang menurut diri sendiri itu tidak sesuai, hanya dengan bermodal semangat mempertahankan pendapat saja. Semoga semangat belajar dapat terjaga dan mendapat yang layak untuk didapatkan.

Tulisan ini hanya keheranan saja dan belajar meneliti, siapa saja yang sekiranya berkenan untuk mengklarifikasi tulisan ini, saya akan terima dengan baik untuk selanjutnya saya pelajari kembali. Biasa….untuk belajar…..Terimakasih.


NB:

1. Tulusan Catatan Kecil gak apa-apa yang banyak juga ganti judul dengan catatan besar gak enakeun…!

2. Kalimat asli dari makalah Aliansi Perempuan Pembebasan dicetak miring.

3. Kosa-kata dari kamus al-Asr (Yang didalam kurung merupakan halaman)

Gamis, kemeja, baju (hal: 1471)

Pakaian, garmen (hal:639)

yang disamarkan, diberi kedok/topeng (hal: 1796)

kerudung, jilbab, Burku` (Hal: 859)

Pakaian (hal:1541)

Pakaian (hal:967)

Selendang, baju kurung( Hal: 1807)

Kain pinggang, kain penutup badai (mungkin Badan yang dimaksud)[hal: 84]

3. Boleh ikut nimbrung satu keterangan?


Ali Telah menceritakan kepadaku, Ali, dia berkata: telah bercerika kepadaku Abu shalih, dia berkata: telah menceritakan padakau Muawiyyah dari Ali dari Ibnu Abbas, dia berkata: Firma Allah swt (Ya ayyuhanabiyyu Qul li azwajika….) Allah swt memerintahkan perempuan yang mu`min apabila keluar dari Rumah-rumah mereka untuk satu keperluan untuk menutupi wajah-wajah mereka dari atas kepala mereka dengan jilbab-jilbab dan menampakan satu mata (Tafsif al-Thobariy. 1992. Beirut: jilid 10: 332)

Kalau itu benar-benar yang dimaksud, itulah jilbab! (Ngerti gak…..)

Wiiih enam halaman…….!!!!!!

1 Ketua Ikatan Remaja Masjid al-Amanah Sukamanah-Bojongkunci

2 Fairuj Abadiy. Kamus al-Muhith. Muassasah Risalah. 1407 H/1987 M. Hal: 88

3 Didalam kamus al-Muhith: 1102 diartikan: Baju di ats baju

4 Hasyiyah Alamah al-Showiy `ala tafsiri Jalalain 1994. Darul Fikr. juz 3: 355

5 Ibnu Katsier jilid 3:518

6 dalam Kamus al-munawwir: 490, diartikan: Pakaian, sejenis mantel, jubah, gamis. (ingat, ketiganya tidak dipakai sampai menutup kaki hanya pakaian luar)

7 Mu`jam al-Wasith: 818 dan al-Muhith:1102 Milhafah diartikan (Baju diatas Baju kain bergaris)

Gelap










by :

Rana Setiana








Kala gelap malam yang dingin, bermandikan cahaya rembulan tersepuh keperakan. Bersama derap kencang irama disko. Tersayup terdengar keluar. Berhias kelap-kelip lampu night club, bergoyang warna-warni menghangatkan kesunyian malam.





Di pojok diskotik terlihat bartender sedang meracik minuman. meramu dengan gaya akrobatik yang hebat, indah dan terlatih. Aku bersama ketiga sahabatku manghabiskan malam, bertemankan anggur, LSD (obat gila) dan pelacur. Penari penghibur yang penuh gombal dan rayu. Mereka mengajak turun bergabung.Berjingkrak ke tengah berdance ria didalam tembok khayalan. Mencari mimpi indah, terbang dalam halusinasi gila dan terbuai melayang bersama lagu dan alunan musik. Menina bobo hingga sang mentari membelai pagi.





Pagi telah datang. Malam pun berganti siang. Dikala sang surya membelai sayang, beriring angin berjingkrak riang. Berputar senang berbisik salam, Pada rembulan di langit malam. Bertabur bintang gemintang berkerlip terang, dan hilang bersama musik kencang, tertelan sunyi kukuruyuk pagi.





Dalam sepi kudengar suara menyapa keras. Terdengar dekat sekali, memecah sunyi pagi. “mas, mas! bangun mas!”, tak jelas dan tak pasti. Apa yang kudengar tepat di sampingku. “Mas, mas! Bangun!”, “mas! Tolong bangun, sebentar lagi kami harus buka”. Deretan kata-kata yang masih tak dapat aku terjemahkan.





Lalod (lama loading), otakku kosong. Kata-kata yang terucap, seakan-akan beterbangan, bergoyang dalam kegelapan. “mas, mas! Bangun, kalau pagi kami yang buka”. Badanku diguncang-guncangnya supaya aku terbangun. Tapi sayang mataku lelah tak dapat kubuka. Badanku lunglai tertelungkup dan aku tak tahu apa yang aku peluk.





Jak, Rojak bangun!” “kamu kenapa Jak?” sayup-sayup terdengar suara memanggil diantara sekian banyak suara, mereka mengenalku. Mungkin!? mereka teman-temanku.





Man, Herman” “Rud, Rudi” “To, Yanto! Tolong Bantu aku!” bangunkan aku dari kegelapan ini”. Sial!! sungguh sial. Kenapa denganku? Lidahku kelu. Tak ada satu patah katapun terlontar dari bibirku.





Permisi, apakah kalian ini temannya?” “bisakah kailian membawanya dari restoran kami? Saya manager bandung cuisine”. Terdengar kata-kata tak henti-hentinya berderet panjang. Sungguhsayang aku tak tahu apa yang dakatakannya. “tenang saja pak, teman kami sedang memanggil ambulance” “karena saya rasa dengan tubuhnya yang membiru. Mungkin saja Rojak ODe (Over Dosis).





Deretan kata tak henti-hentinya berderet mengiang di kepala. Dunia apa ini?? Gelap memekat di hadapanku. Kosong melongpong, semua sama hitam. Hanya bunyi keras yang terus mengaung di telinga. Ribuan kata beterbanagn, berputar-putardidalam kepalaku. Muncul kemudian hilang entah kemana. Kini suasana menjadi dingin, sepi dan sunyi. Terdengar hanya desah nafas dan detak jantung yang terus berdebar resah.





Oh sungguh gelap tak bercahaya. Hitam kelam tak berwarna. Mataku yang belo besar pun kini tak berguna. Ku coba meraba kiri dan kanan, namun tetap saja percuma. Keterasingan, sepi, sendiri dan kicauan bunyi yang terus berkicau tiada henti silih berganti, kemudian bersembunyi. Hilang dan muncul kembali.





Aku putuskan untuk diam. Tidak melakukan sesuatu. Akhirnya tak seberapa lama kududuk termenung menunggu. Tiba-tiba dari kejauhan terlihat putih. Sebuah titik berdiameter kira-kira satu inci. Bulatan kecil itu lama kelamaan berangsur mendekat, menghampiriku. Berawal dari bulatan kecil. Sedikit demi sedikit bulatan itu membesar, hingga besar. Sebesar lubang sumur galian di kampungku yang menempel di tirai hitam yang gelap.





Aku bangkit bangun menghampiri dan meloncat masuk ke dalam lubang. Ternyata bulatan itu merupakan pintu cahaya penghubung untuk memasuki tempat yang penuh kilauan cahaya. Kulanjutkan melangkah masuk ke dalam cahaya yang sangat terang. Mataku tak sanggup melihat karena silau, walau lama kelamaan pupil mataku mulai terbiasa.





Semua tampak jelas. Wow dunia yang sungguh luar biasa! Membuatku takjub, akan keindahan yang memukau. Berkilauan berhias ribuan pohon berdoyang rindang. Berjejer berderet, seakan ingin menutup cahaya langit, bertabur indah warna-warni bunga indah mekar tersapu angin bertaburan.





Karena terpuaku akan indahnya dunia yang penuh warna. Aku tersentak kaget. Serentak segera kupalingkan wajahku seketika. Kuhadapkan kearah suara memanggil keras “Jak , Rojak!” mengaung ditelingaku. Kemudian hilang begitu saja. Kutengok ke belelakang ke arahsuara, namun tidak ada apa-apa. Kupalingkan kembali pandanganku kearah semula. Tapi!!! Apa yang terjadi ?!! dunia yang penuh cahaya, kini berubah hitam pekat, Gelap gulita. Aku tak mengerti. Cahya yang menyilaukan mata kini lenyap begitu saja.





Busyet ada apa ini? sesungguhnya dimana aku? Apakah ini mimpi? Atau justru aku sudah mati. Oh tidak!





Biarlah apa yang terjadi kujalani saja. Aku lanjutkan dan terus kutelusuri dunia kegelapan penuh hati-hati. selangkah demi selangkah kutapaki bersama gemuruh yang memekakkan telinga. Tak pernah berhenti, berderet beterbanagn melayang, kemudian hilang dan muncul lagi. Hilang, mincul dan muncul lagi.





Kakiku mulai terasa pegal. Karena terus berjalan. Langkah demi langkah kakiku mulai lelah. Dan tidak tahu berapa jauh aku melangkah. Akhirnya dari kejauhan tampak sebuah cahaya besar. Mendekat dan menyinari tubuhku berrsama alam sekitar, hingga maatku mampu menangkap semua yang ada di sekelilingku, walau semua tampak sama putih dan serba putih.





Putih, bersih. Ketenangan yang penuh kemegahan. Laksana alam suci yang tak ternoda. Walau aku tak tahu, putih tak ternoda atau alam menjemukan yang penuh kejenuhan, perlambang tiada keinginan. Memusnahkan warna-warni kehidupan. Kesenangan, kegembiraan menuai harapan. Atau justru warna-warni itu sebuah noda. Agh, terserahlah.





Tidak sengaja dari kejauhan, mataku menangkap diatas. Di sana aku melihat ada dua orang yang sedang berjalan mendaki di jalan tinggi menjulang. Tinggi kemiringannya kira-kira lima puluh sampai enam puluh derajat. Hatiku akhirnya mulai merasa lega. Aku tidak sendiri.





Aku dekati dan ku perhatikan. Mereka berjalan di jalan yang berbeda. Di sana ada dua jalan. Jalan pertama merupakan deretan anak tangga menjulang tinggi. Sedangkan jalan yang ke dua berupa jalan biasa yang menanjak jauh ke angkasa.





Orang yang berjalan ditangga adalah seorang wanita bergaun putih. Wanita berparas tidak asing dan sungguh akrab seali di mataku. Emh… siapa yah?? Setelah perhatikan lebih. oh iya!! Dia kan kekasihku. Emh.. bukan,bukan. Tepatnya mantan kekasih. Semenjak orang tuanya tau. Aku orang tak punya, harta maupun tahta. Hanya seorang anak pengayuh becak.





Begitu juga orang di jalan ke dua. Seorang pria tua yang mendorong becak. Itulah ayahku. Kuingat dia memaki dan mengusirku dari rumah. Tapi biarlah. Ayah tetap ayah. Apalagi dengan cucuran keringatnya aku besar dan dibesarkan. Tapi apa yang mereka lakukan di sini.





Setelah aku perhatkan, ternyata dua jalan ini saja. Jalan yang dapat dilalui, walau tidak tahu. Kemana jalan ini menuju. Yang jelas aku harus memilih segera, jalan mana yang aku ambil. Jalan ke satu atau jalan ke dua. Mengejar wanita yang kucinta, atau berjalan bersama dan membantu ayah. Supaya kami bias mengarungi dunia yang aneh ini.





Biarlah aku ambil jalan ke dua. Aku langkahkan kakiku. Kucoba berlari. Mendaki menuju ayah. Lari dan terus berlari. Kutambah kecepatan supaya lebih cepat terkejar. Tapi tunggu! mana ayah?? Dia hilang. Kucoba berteriak memanggilnya.”Pak, bapak” tapi teriakan ku sia-sia, percuma. Lenyap begitu saja bersama dirinya.





Tunggu-tunggu!!! apalagi ini!? ada yang aneh dengan jalannya! jalan yang aku daki menjadi rata. Ternyata ketika aku terus berlari dan mendaki menuju ayah. Tanpa terasa tinggi kemiringan jalan menjadi datar nol derajat.





Apa maksud semua ini?! Ah entahlah. Yang penting aku harus keluar dari alam ini. Kulihat sekitar. Tidak ada jalan lain. Hanya jalan yang pertama yang tetap ada dan menjulang. Akan kucoba jalan pertama. Aku berlari kencang mendekati anak tangga. Kulangkahkan kakiku menapaki deretan anak tangga. Kudaki dan aku telusuri tangga demi anak tangga kudaki. Aku tambah kecepatan hingga kuberlari mendaki tinggi. Gadis itu dari bawah aku lilhat. Dia tapaki kakinya terus dan pasti. Gerakan yang anggun dan indah ia telusuri. Sungguh luar biasa betapa cantiknya dia. Tubuh yang tinggi semampai, rambut hitam legam merumbai, bergerak kanan kiri. Itulah Risma. Dari dulu dia tidak berubah cerdas dan menarik.





Aku daki dan terus kudaki. Kutancap kecepatan mengejar Risma. Jalan yang aku daki, semakin tinggi sulit. Selain licin juga semakin jauh aku berlari. Risma pun semakin menjauh dan akhirnya hilang. Tinggi kemiringan terus naik bertambah. Semakin terus kudaki kemiringan terus tiada henti-hentinya bertambah. Aku tak pedulikan semua itu. Yang penting kudaki dan terus kudaki. Ketika tinggi kemiringan mencapai derajat sembilan puluh, Kakiku terpeleset dan AAAAA …AAAA tolong AAAAaku terjatuh.





AAAAA… Serentak tiba-tiba aku terbanygun dari tidur. Hah, hah, hah… nafasku terengah-engah. Jantung berdebar kencang. Sekujur tubuh basah oleh keringat. Tanganku mencengkeram erat seprai tempat tidur. Mataku melotot seakan mau keluar dari kelopak. Ternyata mimpi. Ya Allah, dimana aku?





Aku melihat jarum infuse menusuk tangan. Aku tengok kiri kanan yang serba putih dan bersih. Dimana aku? Inikan Rumahsakit! Memang kenapa aku? Tak lama aku bertanya-tanya ada apa yang terjadi? Tiba-tiba aku kudengar disamping kananku terdengar suara memanggil. “Jak, Rojak!” serentak aku palingkan wajahku dan ku lihat. Tapi, aku tidak melihat siapa-siapa. Kuhela nafas untuk menenangkan fikiranku, sambil memalinghkan wajh ke arah semula. Namun, apa yang terjadi semua yag serba putih, menjadi gelap memekat. Agh … mulai lagi. Tidak-tidak, tidak, TIDAAA …K.





Bandung, 12 Februari 07